Saudariku… Seorang mukmin dengan
mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik,
melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat
mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik
dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk
dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran
untuk saling memperbaiki.
Saudariku… Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam
mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta Islam
kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun, kulihat
engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih banyak alasan
yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap kali kutanya, “Kenapa
jilbabmu masih belum kau pakai?” Padahal sudah banyak waktu kau luangkan untuk
mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang perintah jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk
memantapkan hatimu agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari
saudarimu yang menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa,
jilbabmu masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi
dirimu? Mengapa Harus Berjilbab? Mungkin aku harus kembali mengingatkanmu
tentang alasan penting kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan perintah
jilbab kepada kita –kaum Hawa- dan bukan kepada kaum Adam.
Saudariku, jilbab
adalah pakaian yang berfungsi untuk menutupi perhiasan dan keindahan dirimu,
agar dia tidak dinikmati oleh sembarang orang. Ingatkah engkau ketika engkau
membeli pakaian di pertokoan, mula-mula engkau melihatnya, memegangnya,
mencobanya, lalu ketika kau jatuh cinta kepadanya, engkau akan meminta kepada
pemilik toko untuk memberikanmu pakaian serupa yang masih baru dalam segel.
Kenapa demikian? Karena engkau ingin mengenakan pakaian yang baru, bersih dan
belum tersentuh oleh tangan-tangan orang lain. Jika demikian sikapmu pada
pakaian yang hendak engkau beli, maka bagaimana sikapmu pada dirimu sendiri?
Tentu engkau akan lebih memantapkan ‘segel’nya, agar dia tetap ber’nilai jual’
tinggi, bukankah demikian? Saudariku, izinkan aku sedikit mengingatkanmu pada
firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla berikut ini, “Katakanlah kepada wanita-wanita
beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan
mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak daripadanya.’” (Qs. An-Nuur: 31) Dan firman-Nya, “Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59) Saudariku
tercinta, Allah tidak semata-mata menurunkan perintah jilbab kepada kita tanpa
ada hikmah dibalik semuanya.
Allah telah mensyari’atkan jilbab atas kaum
wanita, karena Allah Yang Maha Mengetahui menginginkan supaya kaum wanita
mendapatkan kemuliaan dan kesucian di segala aspek kehidupan, baik dia adalah
seorang anak, seorang ibu, seorang saudari, seorang bibi, atau pun sebagai
seorang individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Allah menjadikan jilbab
sebagai perangkat untuk melindungi kita dari berbagai “virus” ganas yang
merajalela di luar sana. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul Qasim
Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Wanita itu
adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits
shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani
dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma) Saudariku, berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu
untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah
suatu bentuk ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah
lain yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari
seorang wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab juga merupakan
lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan. Dan semua itu Allah
jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita
yang tiada duanya ini? “Aku Belum Berjilbab, Karena…”
1. “Hatiku masih belum
mantap untuk berjilbab. Jika hatiku sudah mantap, aku akan segera berjilbab.
Lagipula aku masih melaksanakan shalat, puasa dan semua perintah wajib kok..”
Wahai saudariku… Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk mengenakan
jilbab? Dia-lah Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb alam semesta. Engkau
telah melakukan berbagai perintah Allah yang berpangkal dari iman dan ketaatan,
tetapi mengapa engkau beriman kepada sebagian ketetapan-Nya dan ingkar terhadap
sebagian yang lain, padahal engkau mengetahui bahwa sumber dari semua perintah
itu adalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala? Seperti shalat dan amalan
lain yang senantiasa engkau kerjakan, maka berjilbab pun adalah satu amalan
yang seharusnya juga engkau perhatikan. Allah Ta’ala telah menurunkan perintah
hijab kepada setiap wanita mukminah. Maka itu berarti bahwa hanya wanita-wanita
yang memiliki iman yang ridha mengerjakan perintah ini. Adakah engkau tidak
termasuk ke dalam golongan wanita mukminah? Ingatlah saudariku, bahwa
sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab namun masih mengerjakan
amalan-amalan lain, adalah seperti orang yang membawa satu kendi penuh dengan
kebaikan akan tetapi kendi itu berlubang, karena engkau tidak berjilbab.
Janganlah engkau sia-siakan amal shalihmu disebabkan orang-orang yang dengan
bebas di setiap tempat memandangi dirimu yang tidak mengenakan jilbab. Silakan
engkau bandingkan jumlah lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa jilbab
setiap hari dengan jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama banyaknya?
2.
“Iman kan letaknya di hati. Dan yang tahu hati seseorang hanya aku dan Allah.”
Duhai saudariku…Tahukah engkau bahwa sahnya iman seseorang itu terwujud dengan
tiga hal, yakni meyakini sepenuhnya dengan hati, menyebutnya dengan lisan, dan
melakukannya dengan perbuatan? Seseorang yang beramal hanya sebatas perbuatan
dan lisan, tanpa disertai dengan keyakinan penuh dalam hatinya, maka dia termasuk
ke dalam golongan orang munafik. Sementara seseorang yang beriman hanya dengan
hatinya, tanpa direalisasikan dengan amal perbuatan yang nyata, maka dia
termasuk kepada golongan orang fasik. Keduanya bukanlah bagian dari golongan
orang mukmin. Karena seorang mukmin tidak hanya meyakini dengan hati, tetapi
dia juga merealisasikan apa yang diyakininya melalui lisan dan amal perbuatan.
Dan jika engkau telah mengimani perintah jilbab dengan hatimu dan engkau juga
telah mengakuinya dengan lisanmu, maka sempurnakanlah keyakinanmu itu dengan
bersegera mengamalkan perintah jilbab.
3. “Aku kan masih muda…” Saudariku
tercinta… Engkau berkata bahwa usiamu masih belia sehingga menahanmu dari
mengenakan jilbab, dapatkah engkau menjamin bahwa esok masih untuk dirimu? Apakah
engkau telah mengetahui jatah hidupmu di dunia, sehingga engkau berkata bahwa
engkau masih muda dan masih memiliki waktu yang panjang? Belumkah engkau baca
firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Kamu tidak tinggal (di bumi)
melainkan sebentar saja, jika kamu sesungguhnya mengetahui.” (Qs. Al-Mu’minuun:
114) “Pada hari mereka melihat adzab yang diancam kepada mereka, (mereka
merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.
(Inilah) waktu pelajaran yang cukup.” (Qs. Al-Ahqaaf: 35) Tidakkah engkau
perhatikan tetanggamu atau teman karibmu yang seusia denganmu atau di bawah
usiamu telah menemui Malaikat Maut karena perintah Allah ‘Azza wa Jalla?
Tidakkah juga engkau perhatikan si fulanah yang kemarin masih baik-baik saja, tiba-tiba
menemui ajalnya dan menjadi mayat hari ini? Tidakkah semua itu menjadi
peringatan bagimu, bahwa kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sekarat
atau pun orang yang lanjut usia? Dan Malaikat Maut tidak akan memberimu
penangguhan waktu barang sedetik pun, ketika ajalmu sudah sampai. Setiap hari
berlalu sementara akhiratmu bertambah dekat dan dunia bertambah jauh. Bekal apa
yang telah engkau siapkan untuk hidup sesudah mati? Ketahuilah saudariku,
kematian itu datangnya lebih cepat dari detak jantungmu yang berikutnya. Jadi
cepatlah, jangan sampai terlambat…
4. “Jilbab bikin rambutku jadi rontok…”
Sepertinya engkau belum mengetahui fakta terbaru mengenai ‘canggih’nya jilbab.
Dr. Muhammad Nidaa berkata dalam Al-Hijaab wa Ta’tsiruuha ‘Ala Shihhah wa
Salamatus Sya’ri tentang pengaruh jilbab terhadap kesehatan dan keselamatan
rambut, “Jilbab dapat melindungi rambut. Penelitian dan percobaan telah
membuktikan bahwa perubahan cuaca dan cahaya matahari langsung akan menyebabkan
hilangnya kecantikan rambut dan pudarnya warna rambut. Sehingga rambut menjadi
kasar dan berwarna kusam. Sebagaimana juga udara luar (oksigen) dan hawa
tidaklah berperan dalam pertumbuhan rambut. Karena bagian rambut yang terlihat
di atas kepala yang dikenal dengan sebutan batang rambut tidak lain adalah
sel-sel kornea (yang tidak memiliki kehidupan). Ia akan terus memanjang berbagi
sama rata dengan rambut yang ada di dalam kulit. Bagian yang aktif inilah yang
menyebabkan rambut bertambah panjang dengan ukuran sekian millimeter setiap
hari. Ia mendapatkan suplai makanan dari sel-sel darah dalam kulit. Dari sana
dapat kita katakan bahwa kesehatan rambut bergantung pada kesehatan tubuh
secara umum. Bahwa apa saja yang mempengaruhi kesehatan tubuh, berupa sakit
atau kekurangan gizi akan menyebabkan lemahnya rambut. Dan dalam kondisi
mengenakan jilbab, rambut harus dicuci dengan sabun atau shampo dua atau tiga
kali dalam sepekan, menurut kadar lemak pada kulit kepala. Maksudnya apabila
kulit kepala berminyak, maka hendaklah mencuci rambut tiga kali dalam sepekan.
Jika tidak maka cukup mencucinya dua kali dalam sepekan. Jangan sampai kurang
dari kadar ini dalam kondisi apapun. Karena sesudah tiga hari, minyak pada
kulit kepala akan berubah menjadi asam dan hal itu akan menyebabkan patahnya batang
rambut, dan rambut pun akan rontok.” (Terj. Banaatunaa wal Hijab hal. 66-67)
5.
“Kalau aku pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku.
Jadi, aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah menikah.” Wahai saudariku…
Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu, sementara engkau
masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts, yang tidak memiliki perasaan
cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan. Bagaimana engkau bisa
berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu itu akan ridha membiarkanmu
mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara sebelum pernikahan itu terjadi dia
masih santai saja mendapati dirimu tampil dengan pakaian ala kadarnya? Jika
benar dia mencintai dirimu, maka seharusnya dia memiliki perasaan cemburu
ketika melihat auratmu terbuka barang sejengkal saja. Dia akan menjaga dirimu
dari pandangan liar lelaki hidung belang yang berkeliaran di luar sana. Dia
akan lebih memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang tanpa jilbab.
Inilah yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki! Maka, jika datang seorang
lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu yang masih belum berjilbab,
waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyuts yang menjadi calon penghuni
Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku, kemanakah bahtera rumah tanggamu
akan bermuara apabila nahkodanya adalah calon penghuni Neraka?
6. “Pakai jilbab
itu ribet dan mengganggu pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku dipecat dari
pekerjaan.” Saudariku… Islam tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama
hal tersebut tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi, Islam
membatasi segala hal yang dapat membahayakan seorang wanita dalam melakukan
aktivitasnya baik dari sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya. Jilbab yang
menjadi salah satu syari’at Islam adalah sebuah penghargaan sekaligus
perlindungan bagi kaum wanita, terutama jika dia hendak melakukan aktivitas di
luar rumahnya. Maka dengan perginya engkau untuk bekerja di luar rumah tanpa
jilbab justru akan mendatangkan petaka yang seharusnya dapat engkau hindari.
Alih-alih mempertahankan pekerjaan, engkau malah menggadaikan kehormatan dan
harga dirimu demi setumpuk materi. Tahukah engkau saudariku, siapa yang
memberimu rizki? Bukankah Allah -Rabb yang berada di atas ‘Arsy-Nya- yang
memerintahkan para malaikat untuk membagikan rizki kepada setiap hamba tanpa
ada yang dikurangi barang sedikitpun? Mengapa engkau lebih mengkhawatirkan
atasanmu yang juga rizkinya bergantung kepada kemurahan Allah? Apakah jika
engkau lebih memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka atasanmu itu akan
menjamin dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah Allah ‘Azza wa Jalla yang
telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah saudariku…
Pikirkanlah hal ini baik-baik!
7. “Jilbab itu bikin gerah, dan aku tidak kuat
kepanasan.” Saudariku… Panas mentari yang engkau rasakan di dalam dunia ini
tidak sebanding dengan panasnya Neraka yang akan kau terima kelak, jika engkau
masih belum mau untuk berjilbab. Sungguh, dia tidak sebanding. Apakah engkau
belum mendengar firman Allah yang berbunyi, “Katakanlah: ‘(Api) Neraka Jahannam
itu lebih sangat panas. Jika mereka mengetahui.’” (Qs. At-Taubah: 81) Dan sabda
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sesungguhnya api Neraka
Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari panas api di bumi sebesar) enam puluh
sembilan kali lipat (bagian).” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2843) dan
Ahmad (no. 8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami' (no. 6742), dari Shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu] Manakah yang lebih sanggup engkau bersabar
darinya, panasnya matahari di bumi ataukah panasnya Neraka di akhirat nanti?
Tentu engkau bisa menimbangnya sendiri…
8. “Jilbab itu pilihan. Siapa yang mau
pakai jilbab silakan, yang belum mau juga gak apa-apa. Yang penting akhlaknya
saja benar.” Duhai saudariku… Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud
dengan akhlak mulia itu. Engkau menafikan jilbab dari cakupan akhlak mulia,
padahal sudah jelas bahwa jilbab adalah salah satu bentuk perwujudan akhlak
mulia. Jika tidak, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk berjilbab,
karena dia tidak termasuk ke dalam akhlak mulia. Pikirkanlah olehmu baik-baik,
adakah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berakhlak buruk? Atau adakah Allah
mengadakan suatu ketentuan yang tidak termasuk dalam kebaikan dan mengandung
manfaat yang sangat besar? Jika engkau menjawab tidak ada, maka dengan demikian
engkau telah membantah pendapatmu sendiri dan engkau telah setuju bahwa jilbab termasuk
ke dalam sekian banyak akhlak mulia yang harus kita koleksi satu persatu.
Bukankah demikian? Ketahuilah olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan jilbab
akan membuat Rabb-mu menjadi cemburu, sebagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Allah itu cemburu
dan seorang Mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Allah disebabkan oleh
seorang hamba yang mengerjakan perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [Hadits
shahih. Riwayat Bukhari (no. 4925) dan Muslim (no. 2761)]
9. “Sepertinya Allah
belum memberiku hidayah untuk segera berjilbab.” Saudariku… Hidayah Allah tidak
akan datang begitu saja, tanpa engkau melakukan apa-apa. Engkau harus
menjalankan sunnatullah, yakni dengan mencari sebab-sebab datangnya hidayah tersebut.
Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu hidayatul bayan dan
hidayatut taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan atau petunjuk kepada
kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan manusia. Adapun hidayatut
taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia merupakan peneguhan, penjagaan, dan
pertolongan yang diberikan Allah kepada hati seseorang agar tetap dalam
kebenaran. Dan hidayah ini akan datang setelah hidayatul bayan dilakukan.
Janganlah engkau jual kebahagiaanmu yang abadi dalam Surga kelak dengan dunia
yang fana ini. Buanglah jauh-jauh perasaan was-wasmu itu. Tempuhlah usaha itu
dengan berjilbab, sementara hatimu terus berdo’a kepada-Nya, “Allahummahdini wa
saddidni. Allahumma tsabit qolbi ‘ala dinik (Yaa Allah, berilah aku petunjuk dan
luruskanlah diriku. Yaa Allah, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
Saudariku… Seorang
mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan
bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan
tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari
saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula
untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih
pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling
memperbaiki. Saudariku… Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam
mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta
Islam kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun,
kulihat engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih
banyak alasan yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap
kali kutanya, “Kenapa jilbabmu masih belum kau pakai?” Padahal sudah
banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah
jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu
agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang
menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu
masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi
dirimu? Mengapa Harus Berjilbab? Mungkin aku harus kembali
mengingatkanmu tentang alasan penting kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menurunkan perintah jilbab kepada kita –kaum Hawa- dan bukan kepada kaum
Adam. Saudariku, jilbab adalah pakaian yang berfungsi untuk menutupi
perhiasan dan keindahan dirimu, agar dia tidak dinikmati oleh sembarang
orang. Ingatkah engkau ketika engkau membeli pakaian di pertokoan,
mula-mula engkau melihatnya, memegangnya, mencobanya, lalu ketika kau
jatuh cinta kepadanya, engkau akan meminta kepada pemilik toko untuk
memberikanmu pakaian serupa yang masih baru dalam segel. Kenapa
demikian? Karena engkau ingin mengenakan pakaian yang baru, bersih dan
belum tersentuh oleh tangan-tangan orang lain. Jika demikian sikapmu
pada pakaian yang hendak engkau beli, maka bagaimana sikapmu pada dirimu
sendiri? Tentu engkau akan lebih memantapkan ‘segel’nya, agar dia tetap
ber’nilai jual’ tinggi, bukankah demikian? Saudariku, izinkan aku
sedikit mengingatkanmu pada firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla berikut ini,
“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.’”
(Qs. An-Nuur: 31) Dan firman-Nya, “Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.
Al-Ahzaab: 59) Saudariku tercinta, Allah tidak semata-mata menurunkan
perintah jilbab kepada kita tanpa ada hikmah dibalik semuanya. Allah
telah mensyari’atkan jilbab atas kaum wanita, karena Allah Yang Maha
Mengetahui menginginkan supaya kaum wanita mendapatkan kemuliaan dan
kesucian di segala aspek kehidupan, baik dia adalah seorang anak,
seorang ibu, seorang saudari, seorang bibi, atau pun sebagai seorang
individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Allah menjadikan jilbab
sebagai perangkat untuk melindungi kita dari berbagai “virus” ganas yang
merajalela di luar sana. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul
Qasim Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
artinya, “Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan
akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu
Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115),
dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma) Saudariku,
berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk menunjukkan bahwa
engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah suatu bentuk
ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah lain
yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari
seorang wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab
juga merupakan lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan.
Dan semua itu Allah jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk
dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya ini? “Aku Belum
Berjilbab, Karena…” 1. “Hatiku masih belum mantap untuk berjilbab. Jika
hatiku sudah mantap, aku akan segera berjilbab. Lagipula aku masih
melaksanakan shalat, puasa dan semua perintah wajib kok..” Wahai
saudariku… Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk mengenakan
jilbab? Dia-lah Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb alam semesta.
Engkau telah melakukan berbagai perintah Allah yang berpangkal dari
iman dan ketaatan, tetapi mengapa engkau beriman kepada sebagian
ketetapan-Nya dan ingkar terhadap sebagian yang lain, padahal engkau
mengetahui bahwa sumber dari semua perintah itu adalah satu, yakni Allah
Subhanahu wa Ta’ala? Seperti shalat dan amalan lain yang senantiasa
engkau kerjakan, maka berjilbab pun adalah satu amalan yang seharusnya
juga engkau perhatikan. Allah Ta’ala telah menurunkan perintah hijab
kepada setiap wanita mukminah. Maka itu berarti bahwa hanya
wanita-wanita yang memiliki iman yang ridha mengerjakan perintah ini.
Adakah engkau tidak termasuk ke dalam golongan wanita mukminah? Ingatlah
saudariku, bahwa sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab namun
masih mengerjakan amalan-amalan lain, adalah seperti orang yang membawa
satu kendi penuh dengan kebaikan akan tetapi kendi itu berlubang, karena
engkau tidak berjilbab. Janganlah engkau sia-siakan amal shalihmu
disebabkan orang-orang yang dengan bebas di setiap tempat memandangi
dirimu yang tidak mengenakan jilbab. Silakan engkau bandingkan jumlah
lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa jilbab setiap hari dengan
jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama banyaknya? 2. “Iman kan
letaknya di hati. Dan yang tahu hati seseorang hanya aku dan Allah.”
Duhai saudariku…Tahukah engkau bahwa sahnya iman seseorang itu terwujud
dengan tiga hal, yakni meyakini sepenuhnya dengan hati, menyebutnya
dengan lisan, dan melakukannya dengan perbuatan? Seseorang yang beramal
hanya sebatas perbuatan dan lisan, tanpa disertai dengan keyakinan penuh
dalam hatinya, maka dia termasuk ke dalam golongan orang munafik.
Sementara seseorang yang beriman hanya dengan hatinya, tanpa
direalisasikan dengan amal perbuatan yang nyata, maka dia termasuk
kepada golongan orang fasik. Keduanya bukanlah bagian dari golongan
orang mukmin. Karena seorang mukmin tidak hanya meyakini dengan hati,
tetapi dia juga merealisasikan apa yang diyakininya melalui lisan dan
amal perbuatan. Dan jika engkau telah mengimani perintah jilbab dengan
hatimu dan engkau juga telah mengakuinya dengan lisanmu, maka
sempurnakanlah keyakinanmu itu dengan bersegera mengamalkan perintah
jilbab. 3. “Aku kan masih muda…” Saudariku tercinta… Engkau berkata
bahwa usiamu masih belia sehingga menahanmu dari mengenakan jilbab,
dapatkah engkau menjamin bahwa esok masih untuk dirimu? Apakah engkau
telah mengetahui jatah hidupmu di dunia, sehingga engkau berkata bahwa
engkau masih muda dan masih memiliki waktu yang panjang? Belumkah engkau
baca firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Kamu tidak tinggal (di
bumi) melainkan sebentar saja, jika kamu sesungguhnya mengetahui.” (Qs.
Al-Mu’minuun: 114) “Pada hari mereka melihat adzab yang diancam kepada
mereka, (mereka merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan
sesaat pada siang hari. (Inilah) waktu pelajaran yang cukup.” (Qs.
Al-Ahqaaf: 35) Tidakkah engkau perhatikan tetanggamu atau teman karibmu
yang seusia denganmu atau di bawah usiamu telah menemui Malaikat Maut
karena perintah Allah ‘Azza wa Jalla? Tidakkah juga engkau perhatikan si
fulanah yang kemarin masih baik-baik saja, tiba-tiba menemui ajalnya
dan menjadi mayat hari ini? Tidakkah semua itu menjadi peringatan
bagimu, bahwa kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sekarat
atau pun orang yang lanjut usia? Dan Malaikat Maut tidak akan memberimu
penangguhan waktu barang sedetik pun, ketika ajalmu sudah sampai. Setiap
hari berlalu sementara akhiratmu bertambah dekat dan dunia bertambah
jauh. Bekal apa yang telah engkau siapkan untuk hidup sesudah mati?
Ketahuilah saudariku, kematian itu datangnya lebih cepat dari detak
jantungmu yang berikutnya. Jadi cepatlah, jangan sampai terlambat… 4.
“Jilbab bikin rambutku jadi rontok…” Sepertinya engkau belum mengetahui
fakta terbaru mengenai ‘canggih’nya jilbab. Dr. Muhammad Nidaa berkata
dalam Al-Hijaab wa Ta’tsiruuha ‘Ala Shihhah wa Salamatus Sya’ri tentang
pengaruh jilbab terhadap kesehatan dan keselamatan rambut, “Jilbab dapat
melindungi rambut. Penelitian dan percobaan telah membuktikan bahwa
perubahan cuaca dan cahaya matahari langsung akan menyebabkan hilangnya
kecantikan rambut dan pudarnya warna rambut. Sehingga rambut menjadi
kasar dan berwarna kusam. Sebagaimana juga udara luar (oksigen) dan hawa
tidaklah berperan dalam pertumbuhan rambut. Karena bagian rambut yang
terlihat di atas kepala yang dikenal dengan sebutan batang rambut tidak
lain adalah sel-sel kornea (yang tidak memiliki kehidupan). Ia akan
terus memanjang berbagi sama rata dengan rambut yang ada di dalam kulit.
Bagian yang aktif inilah yang menyebabkan rambut bertambah panjang
dengan ukuran sekian millimeter setiap hari. Ia mendapatkan suplai
makanan dari sel-sel darah dalam kulit. Dari sana dapat kita katakan
bahwa kesehatan rambut bergantung pada kesehatan tubuh secara umum.
Bahwa apa saja yang mempengaruhi kesehatan tubuh, berupa sakit atau
kekurangan gizi akan menyebabkan lemahnya rambut. Dan dalam kondisi
mengenakan jilbab, rambut harus dicuci dengan sabun atau shampo dua atau
tiga kali dalam sepekan, menurut kadar lemak pada kulit kepala.
Maksudnya apabila kulit kepala berminyak, maka hendaklah mencuci rambut
tiga kali dalam sepekan. Jika tidak maka cukup mencucinya dua kali dalam
sepekan. Jangan sampai kurang dari kadar ini dalam kondisi apapun.
Karena sesudah tiga hari, minyak pada kulit kepala akan berubah menjadi
asam dan hal itu akan menyebabkan patahnya batang rambut, dan rambut pun
akan rontok.” (Terj. Banaatunaa wal Hijab hal. 66-67) 5. “Kalau aku
pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku. Jadi,
aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah menikah.” Wahai saudariku…
Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu, sementara
engkau masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts, yang tidak
memiliki perasaan cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan.
Bagaimana engkau bisa berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu
itu akan ridha membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara
sebelum pernikahan itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu
tampil dengan pakaian ala kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu,
maka seharusnya dia memiliki perasaan cemburu ketika melihat auratmu
terbuka barang sejengkal saja. Dia akan menjaga dirimu dari pandangan
liar lelaki hidung belang yang berkeliaran di luar sana. Dia akan lebih
memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang tanpa jilbab. Inilah
yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki! Maka, jika datang seorang
lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu yang masih belum
berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyuts yang
menjadi calon penghuni Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku,
kemanakah bahtera rumah tanggamu akan bermuara apabila nahkodanya adalah
calon penghuni Neraka? 6. “Pakai jilbab itu ribet dan mengganggu
pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku dipecat dari pekerjaan.” Saudariku… Islam
tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama hal tersebut tidak
mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi, Islam membatasi segala
hal yang dapat membahayakan seorang wanita dalam melakukan aktivitasnya
baik dari sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya. Jilbab yang menjadi
salah satu syari’at Islam adalah sebuah penghargaan sekaligus
perlindungan bagi kaum wanita, terutama jika dia hendak melakukan
aktivitas di luar rumahnya. Maka dengan perginya engkau untuk bekerja di
luar rumah tanpa jilbab justru akan mendatangkan petaka yang seharusnya
dapat engkau hindari. Alih-alih mempertahankan pekerjaan, engkau malah
menggadaikan kehormatan dan harga dirimu demi setumpuk materi. Tahukah
engkau saudariku, siapa yang memberimu rizki? Bukankah Allah -Rabb yang
berada di atas ‘Arsy-Nya- yang memerintahkan para malaikat untuk
membagikan rizki kepada setiap hamba tanpa ada yang dikurangi barang
sedikitpun? Mengapa engkau lebih mengkhawatirkan atasanmu yang juga
rizkinya bergantung kepada kemurahan Allah? Apakah jika engkau lebih
memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka atasanmu itu akan menjamin
dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah Allah ‘Azza wa Jalla yang
telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah
saudariku… Pikirkanlah hal ini baik-baik! 7. “Jilbab itu bikin gerah,
dan aku tidak kuat kepanasan.” Saudariku… Panas mentari yang engkau
rasakan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan panasnya Neraka yang
akan kau terima kelak, jika engkau masih belum mau untuk berjilbab.
Sungguh, dia tidak sebanding. Apakah engkau belum mendengar firman Allah
yang berbunyi, “Katakanlah: ‘(Api) Neraka Jahannam itu lebih sangat
panas. Jika mereka mengetahui.’” (Qs. At-Taubah: 81) Dan sabda Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sesungguhnya api Neraka
Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari panas api di bumi sebesar) enam
puluh sembilan kali lipat (bagian).” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no.
2843) dan Ahmad (no. 8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami' (no. 6742),
dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu] Manakah yang lebih
sanggup engkau bersabar darinya, panasnya matahari di bumi ataukah
panasnya Neraka di akhirat nanti? Tentu engkau bisa menimbangnya
sendiri… 8. “Jilbab itu pilihan. Siapa yang mau pakai jilbab silakan,
yang belum mau juga gak apa-apa. Yang penting akhlaknya saja benar.”
Duhai saudariku… Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud dengan
akhlak mulia itu. Engkau menafikan jilbab dari cakupan akhlak mulia,
padahal sudah jelas bahwa jilbab adalah salah satu bentuk perwujudan
akhlak mulia. Jika tidak, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk
berjilbab, karena dia tidak termasuk ke dalam akhlak mulia. Pikirkanlah
olehmu baik-baik, adakah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berakhlak
buruk? Atau adakah Allah mengadakan suatu ketentuan yang tidak termasuk
dalam kebaikan dan mengandung manfaat yang sangat besar? Jika engkau
menjawab tidak ada, maka dengan demikian engkau telah membantah
pendapatmu sendiri dan engkau telah setuju bahwa jilbab termasuk ke
dalam sekian banyak akhlak mulia yang harus kita koleksi satu persatu.
Bukankah demikian? Ketahuilah olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan
jilbab akan membuat Rabb-mu menjadi cemburu, sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan seorang Mukmin juga cemburu. Adapun
cemburunya Allah disebabkan oleh seorang hamba yang mengerjakan perkara
yang diharamkan oleh-Nya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4925)
dan Muslim (no. 2761)] 9. “Sepertinya Allah belum memberiku hidayah
untuk segera berjilbab.” Saudariku… Hidayah Allah tidak akan datang
begitu saja, tanpa engkau melakukan apa-apa. Engkau harus menjalankan
sunnatullah, yakni dengan mencari sebab-sebab datangnya hidayah
tersebut. Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu
hidayatul bayan dan hidayatut taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan
atau petunjuk kepada kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan
manusia. Adapun hidayatut taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia
merupakan peneguhan, penjagaan, dan pertolongan
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Saudariku… Seorang
mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan
bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan
tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari
saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula
untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih
pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling
memperbaiki. Saudariku… Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam
mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta
Islam kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun,
kulihat engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih
banyak alasan yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap
kali kutanya, “Kenapa jilbabmu masih belum kau pakai?” Padahal sudah
banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah
jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu
agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang
menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu
masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi
dirimu? Mengapa Harus Berjilbab? Mungkin aku harus kembali
mengingatkanmu tentang alasan penting kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menurunkan perintah jilbab kepada kita –kaum Hawa- dan bukan kepada kaum
Adam. Saudariku, jilbab adalah pakaian yang berfungsi untuk menutupi
perhiasan dan keindahan dirimu, agar dia tidak dinikmati oleh sembarang
orang. Ingatkah engkau ketika engkau membeli pakaian di pertokoan,
mula-mula engkau melihatnya, memegangnya, mencobanya, lalu ketika kau
jatuh cinta kepadanya, engkau akan meminta kepada pemilik toko untuk
memberikanmu pakaian serupa yang masih baru dalam segel. Kenapa
demikian? Karena engkau ingin mengenakan pakaian yang baru, bersih dan
belum tersentuh oleh tangan-tangan orang lain. Jika demikian sikapmu
pada pakaian yang hendak engkau beli, maka bagaimana sikapmu pada dirimu
sendiri? Tentu engkau akan lebih memantapkan ‘segel’nya, agar dia tetap
ber’nilai jual’ tinggi, bukankah demikian? Saudariku, izinkan aku
sedikit mengingatkanmu pada firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla berikut ini,
“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.’”
(Qs. An-Nuur: 31) Dan firman-Nya, “Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.
Al-Ahzaab: 59) Saudariku tercinta, Allah tidak semata-mata menurunkan
perintah jilbab kepada kita tanpa ada hikmah dibalik semuanya. Allah
telah mensyari’atkan jilbab atas kaum wanita, karena Allah Yang Maha
Mengetahui menginginkan supaya kaum wanita mendapatkan kemuliaan dan
kesucian di segala aspek kehidupan, baik dia adalah seorang anak,
seorang ibu, seorang saudari, seorang bibi, atau pun sebagai seorang
individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Allah menjadikan jilbab
sebagai perangkat untuk melindungi kita dari berbagai “virus” ganas yang
merajalela di luar sana. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul
Qasim Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
artinya, “Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan
akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu
Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115),
dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma) Saudariku,
berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk menunjukkan bahwa
engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah suatu bentuk
ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah lain
yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari
seorang wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab
juga merupakan lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan.
Dan semua itu Allah jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk
dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya ini? “Aku Belum
Berjilbab, Karena…” 1. “Hatiku masih belum mantap untuk berjilbab. Jika
hatiku sudah mantap, aku akan segera berjilbab. Lagipula aku masih
melaksanakan shalat, puasa dan semua perintah wajib kok..” Wahai
saudariku… Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk mengenakan
jilbab? Dia-lah Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb alam semesta.
Engkau telah melakukan berbagai perintah Allah yang berpangkal dari
iman dan ketaatan, tetapi mengapa engkau beriman kepada sebagian
ketetapan-Nya dan ingkar terhadap sebagian yang lain, padahal engkau
mengetahui bahwa sumber dari semua perintah itu adalah satu, yakni Allah
Subhanahu wa Ta’ala? Seperti shalat dan amalan lain yang senantiasa
engkau kerjakan, maka berjilbab pun adalah satu amalan yang seharusnya
juga engkau perhatikan. Allah Ta’ala telah menurunkan perintah hijab
kepada setiap wanita mukminah. Maka itu berarti bahwa hanya
wanita-wanita yang memiliki iman yang ridha mengerjakan perintah ini.
Adakah engkau tidak termasuk ke dalam golongan wanita mukminah? Ingatlah
saudariku, bahwa sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab namun
masih mengerjakan amalan-amalan lain, adalah seperti orang yang membawa
satu kendi penuh dengan kebaikan akan tetapi kendi itu berlubang, karena
engkau tidak berjilbab. Janganlah engkau sia-siakan amal shalihmu
disebabkan orang-orang yang dengan bebas di setiap tempat memandangi
dirimu yang tidak mengenakan jilbab. Silakan engkau bandingkan jumlah
lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa jilbab setiap hari dengan
jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama banyaknya? 2. “Iman kan
letaknya di hati. Dan yang tahu hati seseorang hanya aku dan Allah.”
Duhai saudariku…Tahukah engkau bahwa sahnya iman seseorang itu terwujud
dengan tiga hal, yakni meyakini sepenuhnya dengan hati, menyebutnya
dengan lisan, dan melakukannya dengan perbuatan? Seseorang yang beramal
hanya sebatas perbuatan dan lisan, tanpa disertai dengan keyakinan penuh
dalam hatinya, maka dia termasuk ke dalam golongan orang munafik.
Sementara seseorang yang beriman hanya dengan hatinya, tanpa
direalisasikan dengan amal perbuatan yang nyata, maka dia termasuk
kepada golongan orang fasik. Keduanya bukanlah bagian dari golongan
orang mukmin. Karena seorang mukmin tidak hanya meyakini dengan hati,
tetapi dia juga merealisasikan apa yang diyakininya melalui lisan dan
amal perbuatan. Dan jika engkau telah mengimani perintah jilbab dengan
hatimu dan engkau juga telah mengakuinya dengan lisanmu, maka
sempurnakanlah keyakinanmu itu dengan bersegera mengamalkan perintah
jilbab. 3. “Aku kan masih muda…” Saudariku tercinta… Engkau berkata
bahwa usiamu masih belia sehingga menahanmu dari mengenakan jilbab,
dapatkah engkau menjamin bahwa esok masih untuk dirimu? Apakah engkau
telah mengetahui jatah hidupmu di dunia, sehingga engkau berkata bahwa
engkau masih muda dan masih memiliki waktu yang panjang? Belumkah engkau
baca firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Kamu tidak tinggal (di
bumi) melainkan sebentar saja, jika kamu sesungguhnya mengetahui.” (Qs.
Al-Mu’minuun: 114) “Pada hari mereka melihat adzab yang diancam kepada
mereka, (mereka merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan
sesaat pada siang hari. (Inilah) waktu pelajaran yang cukup.” (Qs.
Al-Ahqaaf: 35) Tidakkah engkau perhatikan tetanggamu atau teman karibmu
yang seusia denganmu atau di bawah usiamu telah menemui Malaikat Maut
karena perintah Allah ‘Azza wa Jalla? Tidakkah juga engkau perhatikan si
fulanah yang kemarin masih baik-baik saja, tiba-tiba menemui ajalnya
dan menjadi mayat hari ini? Tidakkah semua itu menjadi peringatan
bagimu, bahwa kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sekarat
atau pun orang yang lanjut usia? Dan Malaikat Maut tidak akan memberimu
penangguhan waktu barang sedetik pun, ketika ajalmu sudah sampai. Setiap
hari berlalu sementara akhiratmu bertambah dekat dan dunia bertambah
jauh. Bekal apa yang telah engkau siapkan untuk hidup sesudah mati?
Ketahuilah saudariku, kematian itu datangnya lebih cepat dari detak
jantungmu yang berikutnya. Jadi cepatlah, jangan sampai terlambat… 4.
“Jilbab bikin rambutku jadi rontok…” Sepertinya engkau belum mengetahui
fakta terbaru mengenai ‘canggih’nya jilbab. Dr. Muhammad Nidaa berkata
dalam Al-Hijaab wa Ta’tsiruuha ‘Ala Shihhah wa Salamatus Sya’ri tentang
pengaruh jilbab terhadap kesehatan dan keselamatan rambut, “Jilbab dapat
melindungi rambut. Penelitian dan percobaan telah membuktikan bahwa
perubahan cuaca dan cahaya matahari langsung akan menyebabkan hilangnya
kecantikan rambut dan pudarnya warna rambut. Sehingga rambut menjadi
kasar dan berwarna kusam. Sebagaimana juga udara luar (oksigen) dan hawa
tidaklah berperan dalam pertumbuhan rambut. Karena bagian rambut yang
terlihat di atas kepala yang dikenal dengan sebutan batang rambut tidak
lain adalah sel-sel kornea (yang tidak memiliki kehidupan). Ia akan
terus memanjang berbagi sama rata dengan rambut yang ada di dalam kulit.
Bagian yang aktif inilah yang menyebabkan rambut bertambah panjang
dengan ukuran sekian millimeter setiap hari. Ia mendapatkan suplai
makanan dari sel-sel darah dalam kulit. Dari sana dapat kita katakan
bahwa kesehatan rambut bergantung pada kesehatan tubuh secara umum.
Bahwa apa saja yang mempengaruhi kesehatan tubuh, berupa sakit atau
kekurangan gizi akan menyebabkan lemahnya rambut. Dan dalam kondisi
mengenakan jilbab, rambut harus dicuci dengan sabun atau shampo dua atau
tiga kali dalam sepekan, menurut kadar lemak pada kulit kepala.
Maksudnya apabila kulit kepala berminyak, maka hendaklah mencuci rambut
tiga kali dalam sepekan. Jika tidak maka cukup mencucinya dua kali dalam
sepekan. Jangan sampai kurang dari kadar ini dalam kondisi apapun.
Karena sesudah tiga hari, minyak pada kulit kepala akan berubah menjadi
asam dan hal itu akan menyebabkan patahnya batang rambut, dan rambut pun
akan rontok.” (Terj. Banaatunaa wal Hijab hal. 66-67) 5. “Kalau aku
pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku. Jadi,
aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah menikah.” Wahai saudariku…
Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu, sementara
engkau masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts, yang tidak
memiliki perasaan cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan.
Bagaimana engkau bisa berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu
itu akan ridha membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara
sebelum pernikahan itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu
tampil dengan pakaian ala kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu,
maka seharusnya dia memiliki perasaan cemburu ketika melihat auratmu
terbuka barang sejengkal saja. Dia akan menjaga dirimu dari pandangan
liar lelaki hidung belang yang berkeliaran di luar sana. Dia akan lebih
memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang tanpa jilbab. Inilah
yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki! Maka, jika datang seorang
lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu yang masih belum
berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyuts yang
menjadi calon penghuni Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku,
kemanakah bahtera rumah tanggamu akan bermuara apabila nahkodanya adalah
calon penghuni Neraka? 6. “Pakai jilbab itu ribet dan mengganggu
pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku dipecat dari pekerjaan.” Saudariku… Islam
tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama hal tersebut tidak
mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi, Islam membatasi segala
hal yang dapat membahayakan seorang wanita dalam melakukan aktivitasnya
baik dari sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya. Jilbab yang menjadi
salah satu syari’at Islam adalah sebuah penghargaan sekaligus
perlindungan bagi kaum wanita, terutama jika dia hendak melakukan
aktivitas di luar rumahnya. Maka dengan perginya engkau untuk bekerja di
luar rumah tanpa jilbab justru akan mendatangkan petaka yang seharusnya
dapat engkau hindari. Alih-alih mempertahankan pekerjaan, engkau malah
menggadaikan kehormatan dan harga dirimu demi setumpuk materi. Tahukah
engkau saudariku, siapa yang memberimu rizki? Bukankah Allah -Rabb yang
berada di atas ‘Arsy-Nya- yang memerintahkan para malaikat untuk
membagikan rizki kepada setiap hamba tanpa ada yang dikurangi barang
sedikitpun? Mengapa engkau lebih mengkhawatirkan atasanmu yang juga
rizkinya bergantung kepada kemurahan Allah? Apakah jika engkau lebih
memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka atasanmu itu akan menjamin
dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah Allah ‘Azza wa Jalla yang
telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah
saudariku… Pikirkanlah hal ini baik-baik! 7. “Jilbab itu bikin gerah,
dan aku tidak kuat kepanasan.” Saudariku… Panas mentari yang engkau
rasakan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan panasnya Neraka yang
akan kau terima kelak, jika engkau masih belum mau untuk berjilbab.
Sungguh, dia tidak sebanding. Apakah engkau belum mendengar firman Allah
yang berbunyi, “Katakanlah: ‘(Api) Neraka Jahannam itu lebih sangat
panas. Jika mereka mengetahui.’” (Qs. At-Taubah: 81) Dan sabda Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sesungguhnya api Neraka
Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari panas api di bumi sebesar) enam
puluh sembilan kali lipat (bagian).” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no.
2843) dan Ahmad (no. 8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami' (no. 6742),
dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu] Manakah yang lebih
sanggup engkau bersabar darinya, panasnya matahari di bumi ataukah
panasnya Neraka di akhirat nanti? Tentu engkau bisa menimbangnya
sendiri… 8. “Jilbab itu pilihan. Siapa yang mau pakai jilbab silakan,
yang belum mau juga gak apa-apa. Yang penting akhlaknya saja benar.”
Duhai saudariku… Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud dengan
akhlak mulia itu. Engkau menafikan jilbab dari cakupan akhlak mulia,
padahal sudah jelas bahwa jilbab adalah salah satu bentuk perwujudan
akhlak mulia. Jika tidak, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk
berjilbab, karena dia tidak termasuk ke dalam akhlak mulia. Pikirkanlah
olehmu baik-baik, adakah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berakhlak
buruk? Atau adakah Allah mengadakan suatu ketentuan yang tidak termasuk
dalam kebaikan dan mengandung manfaat yang sangat besar? Jika engkau
menjawab tidak ada, maka dengan demikian engkau telah membantah
pendapatmu sendiri dan engkau telah setuju bahwa jilbab termasuk ke
dalam sekian banyak akhlak mulia yang harus kita koleksi satu persatu.
Bukankah demikian? Ketahuilah olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan
jilbab akan membuat Rabb-mu menjadi cemburu, sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan seorang Mukmin juga cemburu. Adapun
cemburunya Allah disebabkan oleh seorang hamba yang mengerjakan perkara
yang diharamkan oleh-Nya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4925)
dan Muslim (no. 2761)] 9. “Sepertinya Allah belum memberiku hidayah
untuk segera berjilbab.” Saudariku… Hidayah Allah tidak akan datang
begitu saja, tanpa engkau melakukan apa-apa. Engkau harus menjalankan
sunnatullah, yakni dengan mencari sebab-sebab datangnya hidayah
tersebut. Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu
hidayatul bayan dan hidayatut taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan
atau petunjuk kepada kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan
manusia. Adapun hidayatut taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia
merupakan peneguhan, penjagaan, dan pertolongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar